Rabu, 15 Agustus 2012

Memahami Aktifitasnya 

Pervasive Developmental Disorder (PDD)

 
Pervasive Developmental Disorder (PDD) merupakan kelompok gangguan perkembangan yang biasanya terlihat nyata ketika anak berumur 3 tahun, namun tanda-tanda gangguan ini biasanya sudah terlihat sebelum anak berusia 3 tahun. Sehingga deteksi dini sebelum anak berusia 3 tahun sangatlah diperlukan agar penanganan yang tepat dapat segera diberikan.
Secara umum, anak-anak dengan PDD biasanya mengalami tiga gangguan yaitu gangguan komunikasi (misal: kesulitan berbicara), gangguan interaksi (misal: tidak mau bermain dengan anak seusianya atau orang lain), dan gangguan perilaku (misal: perilaku repetitive – stereotipik/perilaku “aneh” yang dilakukan berulang-ulang). Berdasarkan definisi DSM IV(American Psychiatric Association, 1994), PDD merupakan gangguan dalam interaksi social, gangguan dalam berkomunikasi, dan adanya keterpakuan tingkah laku, minat dan aktivitas.
Berdasarkan klasifikasi DSM IV tersebut terdapat 5 bentuk PDD yaitu:
  1. Autism
  2. Asperger Syndrome
  3. SDD (Childhood Disintegrative Disorder)
  4. Rett Disorder
  5. PDD NOS (Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified)
(www.toddlerstoday.com)
Selain kelima bendtuk PDD di atas, ada gangguan yang sering dikaitkan dengan PDD namun bukan termasuk kelompok dengan PDD, yaitu Fragil-X (Handbook KOnferensi Nasional Autisme, Jakarta, 2003). Penjelasan rinci mengenai gangguan ini anakan diuraian lebih lanjut.

AUTIS

 
Gangguan ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak dengan perempuan dengan perbandingan 4 berbanding 1. Sebagian besar anak autis juga mengalami retardasi (keterbelakangan) mental. Angka kejadiannya berada pada rentang 3% -7% dari populasi. Berikut ini adalah gejala-gejala yang Nampak pada anak autis:
1. Gangguan dalam komunikasi verbal dan non-verbal, misalnya:
  • Ada keterlambatan bicara, atau samasekali tidak berbicara.
  • Kalaupun bersuara, kata-kata yang diucapkan tidak dapat dimengerti atau tidak sesuai kontek pembicaraan.
  • Beberapa anak autis menunjukkan “echolalia” (mengulang), dimana anak mengulang/meniru nyanyian nada, maupun kata-kata tanpa memahami maknanya.
  • Ketika berbicara, biasanya mimik mukanya datar, tanpa ekspresi dan cara berbicaranya monoton
2. Gangguan dalam interaksi social, misalnya:
  • Anak menghindar dari menatap lawan bicara
  • Tidak menoleh apabila dipanggil (sering diduga anak mengalami masalah dalam pendengaran), sehingga perlu dilakukan pemeriksaan untuk menentukan apakah anak memang mengalami gangguan pendengaran dan bukan autis.
  • Pada beberapa anak, menunjukan perilaku menolak apabila dipeluk.
  • Tidak ada usaha untuk melakukan interaksi dengan orang lain.
  • Bila anak menginginkan sesuatu seringkali menarik tangan orang lain (tidak mengekpreikannya dengan cara menunjuk benda yang diinginkan)
  • anak menjauh apabila diajak bermain dan tidak mau berbagi kesenangan dengan orang lain.
3. Gangguan dalam perilaku, misalnya:
  • Anak memiliki cara bermain yang berbeda dengan anak pada umumnya (contoh: anak pada umumnya memainkan mobil-mobilan dengan cara mendorong sambil berkata “ngeeeng”, namun pada anak autis mobi-mobilan dimainkan dengan cara dibalik dan diputar-putarkan rodanya, atau hanya menderetkan beberapa mobil-mobilan dan melihatnya dengan cara memicingkan matan.
  • Anak memiliki kekakuan terhadap rutinitas (kebiasaan) yang sudah berulang-ulang dilakukan setia hari. (contoh: anak hanya mau mengikuti rute jalan yang sama ketika berpergian, anak menjadi sangat terganggu bahkan “tantrum” (marah) ketika arah rute jalan berubah.
4. Gangguan dalam perasaan/emosi, misalnya:
  • Anak kurang bahkan tidak memiliki rasa empati (misal: ketika anak lain menangis karena terluka, ia tidak merasa kasihan atau bahkan merasa terganggu dengan anak yang menangis tersebut dan mungkin saja malah memukulnya)
  • Anak autis bisa tiba-tiba tertawa, menangis, atau marah-marah tanpa sebab yang nyata.
  • Pada beberapa anak, anak autis sering menunjukkan perilaku mengamuk tak terkendali apabila ia tidak mendapatkan apa yang diinginkannya bahkan ada yang menjadi agresif dan destruktif (merusak).
5. Gangguan dalam persepsi sensori, misalnya:
  • Beberapa anak autis suka mencium, menggigit atau menjilati benda apa saja atau beberapa benda yang ia sukai.
  • Pada beberapa anak ada yang menutup telinga apabila mendengar suara yang keras, bergemuruh atau bahkan tangisan.
  • Beberapa anak autis yang sangat tidak menyukai rabaan atau pelukan, jadi apabila digendong anak merasa tidak nyaman dan ingin melepaskan diri.
  • Beberapa anak autis merasa tidak nyaman apabila memakai pakian yang berkerah, berbahan tertentu atau pakaian yang ada label di kerahnya.
Klasifikasi Autis
1. Berdasarkan kemampuan interaksi sosialnya, dibagi menjadi:
  • Aloof
Anak biasanya menunjukkan cirri-ciri autis yang sangat khas, anak terlihat memojok di tempat yang nyaman dan sangat nampak asyik dengan dunianya sendiri.
  • Pasif
Anak mau bergabung bersama orang lain atau teman sebayanya, namun tidak interaktif (tidak berkomunikasi dengan temannya).
  • Aktif perilaku aneh
Anak sangat tidak bisa diam, berlari-lari kesana-kemari, atau tiba-tiba melempar benda. Pada autis dengan perilaku seperti ini sering tertukar dengan anak hiperaktif (ADHD).
2. Berdasarkan tinggat intelegensianya, dibagi menjadi:
  • Low Functioning
Pada anak autis dengan Low Functioning, biasanya disertai dengan kemampuan bicara yang sangat minim, bahkan tidak berbicara sampai usia dewasa dan hambatan dalam memahami “konsep”. Anak autis dengan Low Funcitoning mencapai 70% dari populasi anak autis.
Anak autis yang Low Function, biasanya berkomunikasi dengan cara non-verbal. Anak mungkin hanya menggunakan bahasa tubuh yang sangat minim (misal menarik tangan untuk meminta tolong diambilkan benda yang disuka), atau anak mengkomunikasikan ketidak sukannya dengan cara tantrum. Biasanya untuk mengakomodasi hambatannya ini didunakan PECS (Picture Exchange Communication System) atau sistem komunikasi melalui pertukaran gambar. Ini ditujukan untuk anak autis yang Non-Verbal bisa tetap melakukan komunikasi, sehingga ia tidak mengkomunikasikan keinginannya dengan cara yang tidak adaptif.
  • Middle Functioning
Anak autis dengan medium functioning mempunyai kemampuan yang lebih baik untuk memahami “konsep”. Sehingga waktu yang diperlukan untuk menguasai suatu pengtehuan (misal: tentang nama-nama benda, anggota tubuh, dll.) membutuhkan yang lebih cepat jika dibandingkan dengan anak autis yang low functioning.
Pada banyak anak autis dengan medium functioning menunjukkan kemampuan  berbicara, namun biasanya masih sangat terbatas dan lebih bersifat searah (misal: hanya menjawab ketika ditanya, namun tidak bisa membuat pertanyaan apabila ada hal yang tidak ia ketahui).
  • High Functioning
Anak dengan high functioning, mempunyai kemampuan dalam memahami konsep dengan cukup baik (untuk konsep yang tidak abstrak). Jika anak autis yang high functioning mendapatkan penangan yang tepat sejak dini, mendapat dorongan yang baik dalam keluarga, anak ini dapat hidup mandiri bahkan sampai berkeluarga.

Asperger Syndrome

Asperger syndrome merupakan kelompok gangguan perkembangan perpasif (memiliki gangguan komunikasi, interaksi dan perilaku) yang gangguan perililakunya ini nampak sangat jelas terutama di usia sebelum 3 tahun. Anak dengan Asperger tiba-tiba bisa berbicara di usia 3 tahun, dan kemampuan bicaranya langsung berkembang sangat cepat. Hal ini yang sangat jelas membedakannya dengan anak autis yang memiliki perkembangan bahasa yang cenderung lama.
Anak dengan Asperger syndrome memiliki kecerdasan yang normal, sehingga secara akademik anak tidak mempunyai hambatan yang berarti untuk mengikuti pelajaran di sekolah umum. Biasanya anak ini pun memiliki minat yang sangat kuat pada bidang tertentu dan meikiki kemampuan melebihi anak “normal”  seusianya. Misalnya anak sudah sangat mahir mengoperasikan komputer di usianya yang baru berusia 4 tahun.
Pada umumnya anak yang sudah besar cukup suka berteman, namun dalam hubungan interaksi dan komunikasinya biasanya cenderung “aneh” karena anak dengan asperger biasanya menggunakan bahasa yang cenderung formal. Mereka pun mengalami kesulitan untuk memahami dan menggunakan kata-kata yang bersifat “humor atau ironi” sehingga cendung terlihat tidak humoris, dan terlihat kaku. Dengan kondisi ini anak biasanya mendapatkan kendala  dalam bersosialisasi dan pada akhirnya merasa tertekan di sekolahnya. Masalah ini biasanya ditemukan saat anak mulai memasuki usia remaja (SMP/SMA).
Intervensi dan layanan yang diberikan untuk membantu mereka dapat  berupa program terapi yang dilaksanaka dengan tujuan memperbaiki kemampuan yang belum dikuasai, terutama dalam aspek-aspek yang tertinggal. Misalnya dalam aspek sosial, anak banyak dilibatkan dalam kegiatan sosial seperti belajar dalam kelompok kecil, mengikuti aktivitas olah raga dalam satu team sehingga anak belajar berkerja sama dan berbagi pengalaman dengan anak lain.

CDD (Childhood Disintegrative Disorder)

Anak yang mengalami gangguan CDC terlihat mengalami perkembangan normal sampai umur dua atau tiga tahun. Setelah usia tersebut (periode normal) anak kemudian mengalami kemunduran dalam perkembangan dan secara signifikan kehilangan minimal dua dari lima hal yang tertera di bawah ini:
  • Bahasa ekspresif dan reseptifnya
  • Kemampuan melakukan interaksi sosial atau tingkah laku adaptif
  • Kontrol terhadap buang air kecil dan buang asir besar
  • Minat untuk bermai
  • Kemampuan motorik
Selain itu, anak dengan CDC juga mengalami gangguan dalam interaksi sosial (misalnya menyendiri, tidak mau berinteraksi dengan orang lain termasuk anggota keluarga), gangguan dalam komunikasi (anak mulai behenti bicara atau kembali hanya mengungkapkan satu kata), dan melakukan aktivitas yang sama berulang-ulang, serta usah untuk berpindah dari satu aktivitas ke aktivitas selanjutnya. Anak menunjukkan masalah dalam profil sensori, seperti mencium-cium atau menjilat-jilat benda yang dipegang.
CDD bisanya terjadi anara umur 3-4 tahun pada seorang, namun dapat juga terjadi pada anak usia selanjutnya, sampai usia 10 tahun. CDD merupakan kelompok PDD yang sangat jarang terjadi dan memiliki kondisi yang “berat” karena hanya 20% anak yang didiagnosa CDD dan telah menjalani terapi yang dibutuhkan mampu berbicara dalam satu kalimat lengkap. Orang dewasa yang didiagnosis SDD kebanyakan mereka hidupnya menjadi sangat tergantung kepada orang lain, selalu membutuhkan pendampingan dari orang lain untuk melakukan aktivitas-aktivitas kemandirian.

Rett Disorder
Rett Disorder merupakan kelainan genetik (pada kromosm X yang disebut MsCP 2) yang ditandai dengan satu periode perkembangan anak yang normal dan kemudian diikuti dengan hilangnya kemampuan komunikasi dan keterampilan motorik. Rett nampak seperti CDD dalam hal ini, namun Rett hanya terjadi pada anak perempuan.  Anggka kejadiannya diperkirakan            1 : 10.000-15.000 dari anggka kelahiran hidup bayi perempuan.
Rett sering tertukar diagnosis dengan anak autis, anak dengan cerebral palsy, dan anak dengan retardasi mental. Karena memunculkan perilaku stereotipik, gangguan motorik dan kemampuan kognitif yang menurun. Tidak ada uji labolatrorium yang bisa dilakukan untuk menentukan apakah seorang anak Rett atau bukan. Untuk menentukannya hanya bisa dilakukan dengan tes kromosom atau melihat karakteristik berikut:
  • Mengalami perkembangan normal kira-kira dari 6 bulan -18 bulan
  • Memiliki lingkar kepala normal pada saat kelahirannya, namun menunjukkan perlambatan pertumbuhan pada usia 3 bulan hingga 4 tahun, (apabila pada usia di atas 4 tahun di ukur lingkar kepalanya, anak menunjukkan lingkar kepalanya yang lebih kecil dan berada di bawah rata-rata anak seusianya)
  • Menghilangnya kemampuan bahasa ekspresif (yang tadinya bisa bicara jadi tidak bisa bicara) dan menurunnya kemampuan fungsi tangan.
  • Munculnya gerakan tangan yang repetitif/mengulang-ulang seperti: hand washing, hand wringing, hand clapping, and hand mouthing.
  • Menggerak-gerakan tubuh (Shakiness of the torso/body rocking)
  • Jika berjalan, cenderung tidak seimbang dan berjinjit.
Sayangnya, mereka yang didiagnosa Rett seringkali berakhir dengan meninggal di usia yang masih sangat muda.

PDD-NOS

PDD-NOS (Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified), merupakan diagnosa yang diberikan pada anak  yang tidak memenuhi criteria diagnositik dari ke empat bentuk PDD di atas (Autis, Asperger, CDD dan Rett), tetapi anak memperlihatkan gangguan yang jelas dalam aspek komunikasi, interaksi sosial, minat/perhatian yang merupakan cirri dari PDD. Setiap anak dengan PDD-NOS memiliki intensitas gangguan yang berbeda-beda. Beberapa anak dengan PDD-NOS memiliki hambatan dalam lingkungan sekolah atau rumah saja, sementara yang lain memiliki kesulitan dalam area kehidupanya.

Fragile-X

Syndrome Fragile-X merupakan penyakit genetik yang paling sering dihubungkan dengan autis. Pada beberapa anak dengan Fragile-X menunjukkan gambaran kesulitan berbahasan dan berbicara, kurang perhatian dan kesulitan dalam memahami konsep, pemalu dan cenderung terlihat menghindari kontak mata layaknya seperti anak autis. Apabila di amati dengan baik, mereka menunjukkan karakteristik khas yang berbeda dengan anak autis seperti: testis yang besar (pada anak laki-laki) dan mengalami mental retardasi, telingga lebar nampak menggantung dan dagu serta dahi yang memanjang.
Disebtu Fragile-X karena ditandai oleh adanya kerapuhan (fragile) yang nampak seperti patahan di ujung lengan panjang kromosom X4. Karena syndrome ini terpaut kromosom X, sehingga bisa diturunkan baik oleh laki-laki maupun permpuan.

sumber : http://indigrow.wordpress.com/tag/pdd-nos/

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More